BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Anak
adalah permata harapan keluarga. Setiap orang mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab terhadap anak agar tumbuh sehat dengan baik, sehat walafiat baik tubuh
maupun jiwanya. Masa kanak – kanak
adalah masa yang rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi.
Pada masa ini sering kali anak ditimpa berbagai macam gejala penyakit salah
satu gejalanya adalah kejang
demam. ( Soetjiningsih, 2011).
Menurut Abdoerrachman
( 2007 ) kejadian kejang demam banyak terjadi pada bayi dan anak yang berumur
antara 6 bulan sampai 5 tahun, dimana kejang ini disebabkan oleh demam yang
semakin tinggi (suhu mencapai 38oC atau
lebih), waktu terjadinya tidak lebih dari 30 menit. Kejang
demam ini terbagi menjadi Kejang Demam Sederhana (KDS) dan Kejang Demam
Kompleks (KDK).
Kejadian
kejang demam ini sendiri tidak terlalu banyak hanya 2 - 5%. Walaupun penderita
kejang demam hanya sedikit tetapi masyarakat kerap kali mengganggap remeh hal
tersebut. Mereka percaya anak yang tiba-tiba kejang itu menderita epilepsi
ataupun kerasukan bahkan beranggapan bahwa hal tesebut merupakan suatu hal yang
wajar yang akan sembuh dengan sendirinya tanpa perlu mendapatkan pengobatan
intensif dari tenaga kesehatan ( Lumbantobing, 2007 ).
Prevalensi kejang demam sekitar 2 - 5
persen pada anak balita. Umumnya terjadi pada anak umur 6 bulan sampai 5 tahun. Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi. Diantaranya; usia, jenis kelamin, riwayat kejang dan epilepsi dalam keluarga,
dan normal tidaknya perkembangan neurologi. Menurut Nadirah (2011), di antara semua usia, bayi yang paling rentan terkena step atau kejang
demam berulang. Risiko tertinggi pada umur di bawah 2 tahun, yaitu sebanyak 50 persen ketika kejang
demam pertama. Sedang bila kejang pertama terjadi pada umur lebih dari 2 tahun maka risiko berulangnya kejang sekitar 28 persen. Selain itu, dari jenis
kelamin juga turut mempengaruhi. Meskipun beberapa penelitian melaporkan bahwa
anak laki-laki lebih sering mengalami kejang demam dibanding anak perempuan.
Namun risiko berulangnya kejang demam tidak berbeda menurut jenis
kelamin. Riwayat kejang dalam keluarga merupakan risiko tertinggi yang
mempengaruhi berulangnya kejang demam, yaitu sekitar 50 - 100 persen. Dan anak-anak yang mengalami
keterlambatan perkembangan neurologi meningkatkan risiko terjadinya kejang demam berulang ( Ugart, 2011 ).
Kejang dapat terjadi pada waktu demam.
Dikatakan demam jika suhu mencapai 37,8 derajat celcius atau lebih yang diukur
secara rektal. Kejang demam dapat dipicu karena faktor infeksi di bagian
ekstrakranial (luar otak). Di antaranya karena penyakit diare, otitis media,
pneumonia, faringitis. Beberapa penelitian, melaporkan kejang terjadi pada suhu
38 derajat celcius. Tapi ada
juga demam suhu rendah, namun bisa membuat anak kejang (Teriosa, 2011).
Komplikasi
dari kejang demam ini masih kontraversi, ada beberapa peneliti mengatakan bahwa
kejang demam ini tidak mengakibatkan kerusakan otak yang berarti seperti hasil
penelitian dari The National Collaborative Perinatal Project di Amerika yang
mengikuti 1706 anak kejang demam sampai berumur usia 7 tahun dan hasilnya tidak
didapatkan adanya kematian sebagai akibat dari kejang demam. IQ anak kejang demam
ini juga dibandingkan dengan saudara kandungnya yang normal dengan menggunakan
WICS, hasilnya angka rata-rata untuk IQ pada setiap anak tidak berbeda dengan
saudara kandung yang tidak menderita kejang demam, tetapi ada beberapa peneliti
seperti Aicadi dan chevrie yang meneliti 402 anak yang
menderita kejang demam dan didapat hasil 131
mendapatkan sekuele, yaitu :
114 penderita epilepsi, 54 retadansi mental, 37 menderita kelainan neurologi,
24 dengan hemiplegia (lumpuh sebelah). Mereka menderita skuele ini sebelum kejang demam adalah anak yang normal
(Lumbantobing, 2007).
Berdasarkan
data yang diperoleh dari ruang Anak RSUD M.Yunus Bengkulu tercatat pada tahun
2010 ditemukan sebanyak 789 anak dirawat, sedangkan pada tahun 2011 ditemukan
sebanyak 934 anak dirawat di ruang Anak RSUD M.Yunus. Sedangkan untuk kejang demam
di RSUD M. Yunus Bengkulu penyakit kejang demam termasuk 5 besar penyakit yang
paling banyak diderita disana. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan
jumlah kasus kejang demam pada anak yang terjadi pada tahun 2010 sebanyak 127
kasus sedangkan pada tahun 2011 tercatat sebanyak 140 kasus kejang demam . dengan
rincian sebagai berikut :
Tabel 1
Daftar frekuensi anak yang terserang Kejang Demam
di Ruangan anak RSUD. M. Yunus tahun 2010 dan 2011
No
|
Bulan
|
Tahun
|
|
2010
|
2011
|
||
1
|
Januari
|
16
|
15
|
2
|
Februari
|
14
|
9
|
3
|
Maret
|
18
|
10
|
4
|
April
|
4
|
11
|
5
|
Mei
|
5
|
12
|
6
|
Juni
|
14
|
12
|
7
|
Juli
|
12
|
8
|
8
|
Agustus
|
12
|
18
|
9
|
September
|
11
|
16
|
10
|
Oktober
|
4
|
9
|
11
|
November
|
5
|
11
|
12
|
Desember
|
12
|
9
|
JUMLAH
|
127
|
140
|
Sumber : Rekam medik RSUD.
M. Yunus
Pada tabel diatas dapat kita lihat bahwa
penderita kejang demam untuk untuk daerah Bengkulu pada dua tahun belakang ini
mengalami kenaikan dari tahun 2010 yang jumlah penderita 127 meningkat menjadi
140 pada tahun 2011 sehingga dapat disimpulkan bahwa penderita kejang demam
masih tinggi, untuk itu masih perlu dapat perhatian yang lebih dari tenaga
kesehatan.
Berdasarkan
data yang diambil dari ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara
penyakit kejang demam masih cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya 23
anak yang menderita kejang demam pada tahun
2010 dan 32 anak terserang
kejang demam pada tahun 2011 dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 2
Daftar frekuensi anak yang terserang
Kejang Demam
di Ruangan Melati RSUD Arga Makmur Tahun 2010 dan
2011
No
|
Bulan
|
Tahun
|
|
2010
|
2011
|
||
1
|
Januari
|
2
|
2
|
2
|
Februari
|
1
|
1
|
3
|
Maret
|
1
|
4
|
4
|
April
|
5
|
1
|
5
|
Mei
|
1
|
4
|
6
|
Juni
|
-
|
2
|
7
|
Juli
|
2
|
3
|
8
|
Agustus
|
2
|
3
|
9
|
September
|
1
|
3
|
10
|
Oktober
|
-
|
5
|
11
|
November
|
5
|
1
|
12
|
Desember
|
2
|
3
|
JUMLAH
|
23
|
32
|
Sumber : Register Ruang Melati RSUD
Arga Makmur
Pada tabel diatas dapat kita lihat bahwa
penderita kejang demam pada dua tahun belakang ini mengalami kenaikan dari
tahun 2010 yang jumlah penderita 23 meningkat menjadi 32 pada tahun 2011
sehingga dapat disimpulkan bahwa penderita kejang demam masih tinggi, untuk itu
masih perlu dapat perhatian yang lebih dari tenaga kesehatan.
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik dan
berkeinginan untuk mengetahui adakah “ Hubungan Umur Dan Suhu
Tubuh Dengan Kejadian Kejang Demam Di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas yang telah dikemukakan, maka
permasalahan yang akan peneliti angkat dalam karya tulis ilmiah ini adalah :
1. Apakah
ada hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga
Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.
2. Apakah
ada hubungan suhu tubuh dengan
kejadian kejang demam pada balita
di Ruang Melati RSUD Arga
Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan
Umum
Untuk
mengetahui hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.
2.
Tujuan
Khusus
a. Untuk
mengetahui gambaran umur balita yang dirawat di Ruang Melati RSUD Arga
Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.
b. Untuk
mengetahui gambaran suhu tubuh balita yang dirawat di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.
c. Untuk mengethaui gambaran kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Tahun 2011.
d. Untuk
mengetahui gambaran kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.
e. Untuk
mengetahui hubungan umur dengan kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.
f. Untuk
mengetahui hubungan suhu tubuh dengan kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.
D.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Rumah Sakit
Hasil
penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pelaksanakan
penanganan pasien balita dengan kejang demam.
2. Untuk
Institusi Pendidikan
Sebagai
bahan bacaan untuk mahasiswa dan sumber pustaka tentang kejang demam.
3.
Manfaat
bagi pengembangan penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat
dijadikan informasi yang sangat berguna bagi penelitian lain yang ingin
melanjutkan penelitian ini.
E.
Keaslian Penelitian
1.
“Faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi kejang demam
pada anak di RSUD Saras Husada
Purworejo tahun 2010” oleh Prasojo Nugroho.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kejang Demam
1. Pengertian
Kejang
Demam adalah kejang yang terjadi pada saat suhu badan tinggi, suhu badan yang
tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranium (Lumbantobing,2007).
Kejang
demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh rektal
diatas 38°C ( Sujono Riyadi, 2009).
Kejang
demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5
tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya infeksi
ataupun kelainan lain yang jelas di intrakranial (Abdoerrachman, 2007).
2. Etiologi
Menurut Lumbantobing
(2007) etiologi kejang demam adalah:
a.
Demam itu sendiri, demam yang disebabkan oleh
infeksi saluran pernapasan, otitis media, pneumonia, gastroentritis dan infeksi
saluran kemih.
b.
Efek produk toksik dari pada mikroorganisme.
c.
Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh
infeksi.
d.
Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
e.
Ensefalitis viral ( radang otak akibat virus ) yang
ringan .
3. Anatomi Fisiologi
Seperti
yang dikemukakan Syaifuddin ( 1997) system saraf terdiri dari system
saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari cerebellum, medulla
oblongata dan pons (batang otak) serta medulla spinalis (sumsum tulang
belakang), system saraf tepi (peripheral nervous system) yang terdiri dari
nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua cabang dari medulla spinalis,
system saraf gaib (autonomic nervous system) yang terdiri dari sympatis (sistem
saraf simpatis) dan parasymphatis (sistem saraf parasimpatis).
Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium)
dan dibungkus oleh selaput otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk
melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko benturan atau guncangan.
Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan piamater.
Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri
dari :
a.
Cerebrum (otak besar)
Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior
dan superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum cranialis
anterior dan cavum cranialis media.
Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks
cerebri dan medulla cerebri. Fungsi dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat
bicara, pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat penglihatan /
visual, pusat pengecap dan pembau serta pusat pemikiran.
Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam
daerah substansia alba sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi tepi sudah
berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri inilah
yang disebut sebagai ganglia basalis.
Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :
1)
Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh,
kecuali impuls pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri. Fungsi thalamus
terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik. Thalamus juga merupakan
pusat panas dan rasa nyeri.
2)
Hypothalamus
Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III
hypothalamus terdiri dari beberapa nukleus yang masing-masing mempunyai
kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus merupakan daerah penting untuk
mengatur fungsi alat demam seperti mengatur metabolisme, alat genital, tidur
dan bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila
terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi perubahan-perubahan. Seperti
pada kasus kejang demam, hypothalamus berperan penting dalam proses tersebut
karena fungsinya yang mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat adanya
proses-proses patologik ekstrakranium.
3)
Formation Reticularis
Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah
batang otak (superior dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi aktifitas
cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini terjadi stimulasi /
rangsangan dan penekanan impuls yang akan dikirim ke cortex cerebri.
b.
Serebellum
Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang
menempati fossa cranial posterior. Terletak di superior dan inferior dari
cerebrum yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka.
System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang
langsung keluar dari otak atau batang otak dan mensarafi organ tertentu. Nervus
cranialis ada 12 pasang :
1)
N. I :
Nervus Olfaktorius
2)
N. II :
Nervus Optikus
3)
N. III :
Nervus Okulamotorius
4)
N. IV :
Nervus Troklearis
5)
N. V :
Nervus Trigeminus
6)
N. VI :
Nervus Abducen
7)
N. VII :
Nervus Fasialis
8)
N. VIII :
Nervus Akustikus
9)
N. IX :
Nervus Glossofaringeus
10) N.
X : Nervus Vagus
11) N.
XI : Nervus Accesorius
12) N.
XII : Nervus Hipoglosus.
System saraf otonom ini tergantung dari system sistema
saraf pusat dan system saraf otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf aferent
dan efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada 2 di mana keduanya
mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system simpatis dan parasimpatis.
Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :
1)
Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal
dan seterusnya
2)
Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut
trunkus symphatis
3)
Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan
dari ganglion kolateral.
System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :
Serabut saraf yang dicabagkan dari medulla spinalis:
1)
Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang
otak
2)
Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis.
4.
Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau
organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku
untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah
oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan
diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak
adalah glukosa yang melalui proses oksidasi menjadi CO2 dan air. Sel
dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium
dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida. Akobatnya konsentrasi kalium dalam
sel neuron tinggi dan konsentrasi ion natrium rendah, sedangkan diluar sel
neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion
di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut
potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran
ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat di permukaan
sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya
mekanis dan kimiawi, perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena
penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Pada anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari
seluruh tubuh dibandingkan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu
tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion kalium maupun ion natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan
listrik ini demikian besarnay sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan
terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda tergantung
dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak yang menderita kejang demam
pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang
terjadi pada suhu 38°C sedangkan anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang
baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih (Abdoerrachman,2007).
5. Faktor resiko yang berhubungan dengan kejang demam
a. Faktor umur
Faktor umur
merupakan salah satu faktor resiko utama yang berhubungan dengan kejang demam
karena hal ini erat kaitannya dengan kematangan otak, tingkat kematangan otak
dalam bidang anatomi, fisiologi dan biokimiawi otak ( Lumbantobing,2007).
Tahap
perkembangan otak dibagi menjadi 6 fase,
neurulasi, perkembangan prosensefali,
proloferasi neuron, organisasi
dan mielinisasi. Tahapan perkembangan
otak intrauteri dimulai pada fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase
perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun
sampai pascanatal. Sehingga kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap
organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan
apabila mengalami bangkitan kejang terutama fase perkembangan organisasi
meliputi: diferensiasi dan pemantapan neuron pada subplate, pencocokan,
orientasi, dan peletakan neuron pada korteks, pembentukkan cabang neurit dan dendrit, pemantapan kontak di sinapsis, kematian sel
terprogram, proliferasi dan diferensiasi sel glia. Pada proses diferensiasi dan
pemantapan neuron pada subplate, terjadi diferensiasi neurotransmitor eksitator
dan inhibitor. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan
inhibitor. Pada proses pembentukkan cabang-cabang akson ( dendrit dan neurit )
serta pembentukan sinapsis, terjadi kematian sel terprogram dan
plastisitas.Terjadi proses eliminasi sel neuron yang tidak terpakai. Sinapsis
yang dieleminasi sekitar 40%. Proses ini disebut regeresif.Sel neuron yang
tidak terkena proses kematian program bahkan terjadi pembentukan sel baru
disebut palstisitas. Proses tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun.
Apabila masa proses regresif terjadi bangkitan kejang demam dapat mengakibtakan trauma pada sel neuron
sehingga mengakibatkan modifikasi proses regresif. Apabila pada fase organisasi
ini terjadi rangsangan berulang-ulang seperti kejang demam akan mengakibatkan
aberran palstisity, yaitu penurunan fungsi GABA-ergic dan desensitisasi
reseptor GABA dan serta sensitisasi reseptor esksitator. Pada keadaan otak
belum matang, reseptor untuk asam glutamat sebgaai reseptor eksitator padat dan
aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak
belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. Corticotropin realising
hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan.
Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi di
hipokampus berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh
demam. Mekanisme homeostatis pada otak belum matang atau masih lemah, akan
berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan usia, meningkatkan
eksitabilitas neuron. Atas dasar uraian di atas, pada masa otak belum matang
mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah
matang. Pada masa ini disebut developtmental window dan rentan terhadap
bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan dibandingkan inhibitor sehingga tidak
ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan
bangkitan kejang pada usia awal developmental
window mempunyai waktu lebih lama fase eskitabilitas neural dibandingkan
anak yang mendapatkan serangan kejang demam pada usia akhir masa developmental window. Apabila anak
mengalami stimulasi demam pada otak fase ekstabilitas akan mudah terjadi
bangkitan kejang. Developmental merupakan masa perkembangan otak fase
organisasi yaitu pada waktu anak berusia kurang dari 2 tahun ( Soetomenggolo, 2007
).
Umur dapat
menentukan kemungkinan terjadinya penyakit tartentu sepanjang jangka hidup.
Kerentanan terhadap infeksi berubah, bayi sangat rentan terhadap infeksi, lahir
dengan hanya memiliki anti body dari ibu, sistem imunimatur bayi belum mampu
menghasilkan immunoglobulin yang diperlukan. Kejang demam merupakan kelainan
neorologis yg paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan anak 6
bulan sampai 5 tahun ( Ngastiyah 2007 ).
Pada
penelitian yang dilakukan oleh Lennox Buchthal didapatkan sebagian besar kejang
demam yaitu 83,5% terjadi pada usia 0 bulan sampai 2 tahun dan 16,5 % terjadi
pada usia diatas 2 tahun sampai 5 tahun ( Lumbantobing,2007).
b. Faktor suhu tubuh.
Demam
apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai diatas 37,8°C aksila atau 38°C
rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering
disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang
demam. Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang
kejang dan ekstabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada
kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu
tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15%
sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan
kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia
jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus skreb
normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan
hipoksia jaringan metabolisme anaerob, satu molekul glukosa hanya akan
menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan kekurangan energi, hal
ini akan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam
glutamat oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke
dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam
glutamat ekstrasel akan mengakibatkan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+
sehingga semakin meningkatkanmasuknya ion Na+ ke dalam sel.
Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab
demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel.
Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan
mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam
keadaan depolarisasi. Selain itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga
fungsi inhibisi terganggu ( Abdoerrachman, 2007).
Friedrichsen
dan Melchior dalam penelitiannya membagi anak yang demam dalam 2 kelompok yaitu
yang mempunyai suhu dibawah 39°C dan yang di atasnya. Didapatkannya bahwa
insiden kejang demam pada kelompok anak demam yang bersuhu dibawah 39°C adalah
24% dan di atas 39°C adalah 64%. Tingginya suhu tubuh pada keadaan demam sangat
berpengaruh terjadinya bangkitan kejang demam karena pada suhu tubuh yang
tinggi dapat meningkatkan metabolisme tubuh sehingga terjadi perbedaan
potensial membran di otak yang akhirnya melepaskan muatan listrik dan menyebar
ke seluruh tubuh ( Lumbantobing,2007).
Berdasarkan
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam mempunyai peranan untuk terjadi
perubahan potensial membran dan menurunkan fungsi inhibisi sehingga menurunkan
nilai ambang kejang. Penurunan nilai ambang kejang memudahkan untuk timbul
bangkitan kejang demam.
c.
Faktor
riwayat keluarga
Tsuboi melaporkan
penelitian terhadap 32 pasang anak kembar dan 673 kasus bersaudara kandung,
didapatkan tingkat kesesuaian 56% pada monozigot dan 14% pada kembar dizigot.
Pewarisan multifaktorial lebih banyak muncul pada kebanyakan keluarga, dan
hanya sedikti yang melalui autosomal dominan. Walaupun demikian tsuboi mungkin
sekali terdapat suatu sub kelompok anak yang mempunyai cara pewarisan autosomal
dominan untuk kejang demam. Untuk mengetahui jenis gen dan linkage yang berpengaruh
pada kejang demam amak perlu terlebih dahulu diketahui bebrapa sindrom yang
terkait dengan kejang demam, karena masing-masing sindroma memiliki jenis
mutasi gen yang berbeda.
Mekanisme
peranan faktor riwayat keluarga pada terjadinya kejang demam terutama
disebabkan oleh adanya mutasi gen-gen tertentu yang mempengaruhi esktabilitas
ion-ion pada membran sel. Mekanisme yang mempengaruhi peristiwa tersebut sangat
kompleks. Secara teoritis defek yang diturunkan pada tiap-tiap gen pengkode
protein yang menyangkut ekstabilitas neuron dapat mencetuskan bangkitan kejang (Lumbantobing,2007).
Penelitian yang dilakukan oleh lumbantobing mendapatkan hasil bahwa 20-25%
penderita kejang demam mempunyai riyawat keluarga yang juga pernah menderita
kejang demam.
d. Faktor usia saat ibu hamil
Menurut Soetomenggolo(2007), usia ibu pada saat
hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai
komplikasi kehamilan dan persalinan, komplikasi kehamilan diantaranya
hipertensi dan eklampsia, sedangkan ggangguan pada persalinan adalah trauma
persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas,
bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut
dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia terjadi hipoksia dan
iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai.
e.
Lama demam sebelum kejang.
Makin pendek jarak antar mulainya demam dengan
terjadinya kejang demam, makin besar risiko berulangnya kejang demam.
6. Manifestasi Klinis
Menurut Sujono (2009) manifestasi
klinis yang muncul pada penderita kejang demam adalah :
a.
Suhu tubuh anak lebih dari 38°C.
b.
Timbul kejang yang bersifat tonik-klonik, klonik,
fokal atau akinetik. Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak
memberikan reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar
kembali tanpa ada kelainan persyarafan.
c.
Terjadi penurunan kesadaran.
Sedangkan menurut Arief
Mansjoer ( 2008 ) umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan
kejang klonik atau tonik-klonik bilateral. Kejang yang lain juga terjadi
seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan
sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan
fokal.
Abdoerrachman
(2007) mengklasifikasikan
kejang demam menjadi:
a. Kejang demam sederhana ( simple
febrile seizures )
Merupakan kejang demam dengan karakteristik:
1) Kejang demam yang berlangsung singkat,
umumnya serangan akan berhenti sendiri
dalam waktu kurang dari 15 menit.
2) Bangkitan kejang tonik atau tonik-klonik,
tanpa gerakan fokal.
3) Kejang akan terjadi dengan peningkatan
suhu 37,8 0C sampai dengan 38 0C.
4) Tidak berulang dalam waktu 24 jam, atau
hanya terjadi sekali dalam 24 jam.
5) Keadaan nurologi normal dan setelah kejang
juga tetap normal.
6) EEG ( electro enchephalography-rekaman
otak ) yang dibuat setelah tidak demam adalah normal.
b.
Kejang demam kompleks ( complex febrile seizures )
Merupakan kejang demam dengan
karakteristik:
1) Kejang berlangsung lama, lebih dari 15
menit.
2) Kejang fokal (parsial satu sisi), atau kejang
umum didahului kejang parsial lebih dar 1 kali dalam 24 jam.
3) Kejang berulang dua kali atau lebih dalam
24 jam dengan suhu dengan ambang kejang tinggi yaitu pada suhu 40 0C.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1)
Pemeriksaan darah perifer ( tepi ) lengkap
2)
Elektrolit
3)
Glukosa
darah
4)
Kalsium serum
5)
Urinalisis
6) Biakan darah, urin, atau feses (tinja).
b. Pemeriksaan Lumbal
1) Jika bayi < 12 bulan, sangat dianjurkan
dilakukan pungsi lumbal karena gejala meningitis sering tidak jelas.
2) Jika bayi antara 12-18 bulan, dianjurkan
pungsi lumbal kecuali pasti bukan meningitis.
3) Jika bayi > 18 bulan, tidak rutin. Bila pasti bukan meningitis, pungsi lumbal
tidak dianjurkan.
c.
Elektro
Pemeriksaan foto kepala, CT Scan dan/ atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Indikasi
pemeriksaan CT Scan dan MRI:
1)
Dijumpai kelainan neurologis fokal yang menetap
(hemiparesis).
2) Ada riwayat dan tanda klinis trauma
kepala.
3) Kemungkinan terdapat lesi struktural di
otak (mirosefali, spastik).
4) Terdapat tanda peningkatan tekanan
intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior menonjol,
paresis saraf otak VI, edema papil) ( Arief Mansjoer, 2008).
8.
Komplikasi
Komplikasi
tergantung pada :
a.
Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam
keluarga
b.
Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum
anak menderita demam kejang
c.
Kejang berlangsung lama atau kejang tikal
Bila terdapat paling sedikit 2 atau 3 faktor tersebut
diatas, maka dikemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar
13 % dibandingkan bila hanya 1 atau tidak ada sama sekali faktor tersebut.
Serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja. Hemiparesis biasanya terjadi pada klien yang mengalami kejang lama
( berlangsung lebih dari 30 menit) (
Ngastiyah, 2007).
Dari suatu penelitian, demam kejang sederhana
menyebabkan kelainan pada IQ tetapi pada klien demam kejang yang sebelumnya
telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neurologist akan didapat IQ
yang lebih rendah disbanding dengan saudaranya, jika demam kejang diikuti
dengan terulangnya kejang tanpa demam, retardasi mental akan terjadi 5 kali
lebih besar. Demam kejang yang beralngsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsy.( Ngastiyah, 2007).
9. Penatalaksanaan
Menurut
Sujono Riyadi (2009)
a. Penatalaksanaan di rumah sakit.
1) Saat timbul kejang maka penderita
diberikan diazepam intravena secara perlahan dengan dosis untuk berat badan
yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, di atas 20 kg 0,5 mg/kg BB.
Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan dosis
pemberian maksimal 5 mg pada anak yang kurang dari 5 tahun dan maksimal 10 mg
anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg
persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul kejang 15 menit
kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan dosis yang sama,
Apabila masih kejang maka tunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi
diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara intramuskuler.
2) Pembebasan jalan nafas dengan cara kepala
dalam posisi hiperekstensi miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir.
Bila tidak membaik dapat dilakukan intubasi endotrakel atau trakeostomi.
3) Pemberian oksigen, untuk membantu
kecukupan perfusi jaringan.
4) Pemberian cairan intravena untuk mencukupi
kebutuhan dan memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian
cairan intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24 jam perlu
dilakukan, karena pada penderita yang berisiko terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan kesadaran pasien.
Selain itu pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial juga pemberian
cairan yang mengandung natrium ( Na Cl ) perlu dihindari. Kebutuhan cairan
rata-rata untuk anak terlihat pada tabel sebagai berikut
Tabel 3
Kebutuhan cairan pada anak
Umur
|
BB kg
|
Kebutuhan
Cairan
Kg BB
|
0-3 hari
|
3
|
150
|
3-10 hari
|
3,5
|
125-150
|
3 bulan
|
5
|
140-160
|
6 bulan
|
7
|
135-155
|
9 bulan
|
8
|
125-145
|
1 tahun
|
9
|
120-135
|
2 tahun
|
11
|
110-120
|
4 tahun
|
16
|
100-110
|
6 tahun
|
20
|
85-100
|
10 tahun
|
28
|
70-85
|
14 tahun
|
35
|
50-60
|
5) Pemberian kompres air hangat untuk
membantu menurunkan suhu tubuh dengan metode konduksi yaitu perpindahan panas
dari derajat yang tinggi ke derajat yang lebih rendah. Kompres diletakkan pada
jaringan penghantar panas yang banyak seperti anyaman kelenjar limfe di ketiak,
leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah yang besar seperti di leher.
Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan pemebrian antipiretik seperti
prometazon 4-6 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 kali pemberian.
6) Apabila terjadi peningkatan tekanan
intrakranial maka perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi odema otak
seperti deksametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik. Posisi
kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan
cara menaikkan tempat tidur bagian kepala lebih kurang 15 derajat.
7) Untuk pengobatan rumatan setelah pasien
terbebas dari kejang pasca pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat
fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1
bulan – 1 tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan teknik pemberian
intramuskuler.
b. Penatalaksanaan di rumah.
1) Saat anak mengalami kejang demam, letakkan
anak di lantai atau tempat tidur. Jauhkan semua benda yang keras, tajam, yang
bisa membahayakan atau dapat menimbulkan luka.
2) Jangan memasukkan atau menaruh apapun ke
dalam mulut anak, misalnya jari tangan, sendok ataupun yang lain.
3) Jangan menguncang-guncang atau berusaha
membangunkan anak .
4) Bila anak sudah berhenti kejang, miringkan
tubuh anak atau palingkan kepalanya ke salah satu sisi sehingga saliva atau
muntah dapat mengalir keluar dari mulut.
5) Bila kejnag berlangsung lebih dari lima
menit, penanganan gawat darurat harus dilakukan segera untuk mengehntikan
kejang. Bila perlu panggil petugas medis untuk memberikan penanganan tersebut
atau bawa anak ke rumah sakit ataupu pusat kesehatan masyarakat terdekat.
10. Pencegahan
Untuk
mencegah terjadinya kejang demam dan komplikasinya, dapat diberikan
fenobarbital serta fenitoin dengan indikasi khusus yang dapat diberikan 2 tahun
bebas kejang atau sampai usia 6 tahun. Jika anak sudah diketahui mempunyai
riwayat kejang demam, hindarkan anak dari penyebab-penyebab yang memungkinkan
demam, hindarkan juga anak dari anggota keluarga yang sedang demam, misalnya
influenza. Memberikan imunisasi yang lengkap merupakan salah satu cara yang
efektif untuk mengurangi resiko sakit. Jika anak mengalami demam, sesegera
mungkin berikan obat penurun panas untuk mencegah kemungkinan terjadinya kejang
( Tejani, 2010 ).
- Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada suatu penelitian pada dasarnya
adalah gabungan atau menghubungkan
bebrapa teori sehingga membentuk sebuah pola pikir atau kerangka pikir
penelitian yang akan dilakukan, lazimnya berbentuk skema ( Suyanto, 2011 ).
Untuk mengetahui bagaimana hubungan umur dengan kejang demam di ruang Melati
RSUD Arga Makmur Kabupaten
Bengkulu Utara, maka peneliti membuat kerangka konsep yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Bagan 1
Variabel Penelitian
Faktor kejang
demam
1.
Umur
2.
Suhu Tubuh
|
Kejang demam
|
3. Riwayat keluarga
4. Usia ibu
saat hamil
5.Lama demam
|
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
- Hipotesis
1. Ada hubungan antara umur dengan kejadian
kejang demam pada balita yang dirawat di ruang melati RSUD Arga Makmur
Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011.
2. Ada hubungan anatara suhu tubuh dengan
kejadian kejang demam pada balita yang dirawat di ruang melati RSUD Arga Makmur
Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian adalah keseluruhan dari perencanaan
untuk menjawab pertanyaan penelitian dan mengantisipasi beberapa kesulitan yang
mungkin timbul selama proses penelitian (Nursalam, 2008)
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian
ini adalah metode analitik dengan
rancangan cross sectional, dimana variabel sebab (umur dan suhu tubuh) dan variabel
akibat (kejang demam) diukur dan dikumpulkan secara simultan atau dalam waktu
yang bersamaan (Nursalam, 2008). Penelitian ini digunakan untuk mengetahui
hubungan umur dengan kejadian
kejang demam di ruang Melati
RSUD Arga Makmur Kabupaten
Bengkulu Utara tahun 2011.
B. variabel penelitian
Variabel
adalah suatu ukuran atau ciri yang
dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki
oleh kelompok lain ( Notoatmodjo,2010).
1.
Variabel independen
Variabel
independen (variabel bebas) adalah variabel yang diduga sebagai faktor yang mempengaruhi variabel
dependen, (Prof.DR.Elfindri,2011).
Variabel independen pada
penelitian ini adalah umur
dan suhu tubuh balita yang dirawat di ruang Melati RSUD Arga Makmur.
2. Variabel
dependen
Variabel
dependen (variabel terikat) adalah variabel yang berubah karena variabel
bebas ((Prof.DR.Elfindri,2011).
Variabel dependen pada penelitian ini adalag kejadian kejang demam pada balita
di ruang melati RSUD Arga Makmur .
C.
Defenisi Operasional
Definisi operasional adalah
batasan yang harus dibuat oleh peneliti dalam istilah yang operasional sehingga
untuk mengarahkan kepada pengukur atau pengamatan terhadap variabel-variabel
yang bersangkutan serta pengembangan instrument (alat ukur), (Notoadmodjo,2010).
Tabel 4
Defenisi
Operasional
No
|
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Alat ukur
|
Cara Ukur
|
Hasil Ukur
|
Skala Ukur
|
1
|
Umur
|
Umur adalah usia responden yang dihitung
dalam tahun mulai dilahirkan sampai ulang tahun terakhir yang tertulis dalam
register/status pasien.
|
Cheklist
|
observasi
|
1 : < 2 tahun (developmental window)
0 : 2 tahun – 5 tahun
|
ordinal
|
2
|
Suhu tubuh
|
Suhu tubuh adalah hasil
pengukuran derajat panas (kalor) tubuh pasien pada hari pertama di rawat yang
tertulis di status pasien.
|
Cheklist
|
observasi
|
1 : ≥ 39 0 C
0 : < 39 0 C
|
Ordinal
|
3
|
Kejang demam
|
Variabel dependent Kejang demam bangkitan
kejang yang terjadi pada suhu 37,8°C atau lebih yang ditandai dengan
pergerakan tonik,klonik yang tertulis pada status pasien.
|
Cheklist
|
observasi
|
1 : Kejang demam
0 : Tidak kejang
demam
|
nominal
|
D. Populasi dan Sampel
1.
Populasi
Populasi dalam penelitian adalah
subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan ( Nursalam, 2008 ).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang dirawat karena demam dengan kejang demam maupun yang demam tanpa kejang demam
di ruang Melati RSUD Arga Makmur
tahun 2011 yang berjumlah 70 balita .
2. Sampel
adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai
subjek penelitian melalui sampling ( Nursalam, 2008 ). Sedangkan sampling
adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang
ada.
Menurut Prof. Dr Sunarsini Arikunto prosedur
penelitian (2007), cara menentukan sampel, yaitu: a) Jika jumlah subjeknya kurang dari 100,
lebih baik sampel diambil semua b) Jika jumlah subjeknya besar, dapat
di ambil antara 10-15 % dan 20-25%. Penetapan
sampel pada penelitian ini berdasarkan teknik total sampling,dimana sampel
diambil secara keseluruhan dari total populasi
yaitu sebanyak 70 balita.
D.
Tempat
dan waktu penelitian
1.
Tempat
Tempat penelitian ini
dilakukan di ruang Melati RSUD Arga Makmur.
2. Waktu
Penelitian dilakukan mulai
dari tanggal 2 Maret – 20 Juni 2012.
E.
Teknik Pengumpulan Data
1.
Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder (untuk memperoleh
data umur, suhu tubuh, dan kejang demam ).
2.
Cara Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara melihat status pasien dan buku register di
ruang Melati RSUD Arga Makmur 2011.
3. Instrument pengumpulan data
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data ini adalah dengan menggunakan
format pengumpulan data.
F.
Teknik Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data
1.
Teknik
pengolahan data
Untuk memperoleh pengolahan data dlakukan teknik – teknik pengolahan data sebagai
berikut :
a.
Editing (
Pengeditan data )
Langkah ini dilakukan peneliti untuk memeriksa kembali kelengkapan data
yang diperlukan untuk mecapai tujuan penelitian maka dilakukan pengelomokkan
dan penyusunan data.
b.
Koding ( Pengkodean )
Coding adalah mengalokasikan jawaban – jawaban yang ada menurut macamnya
kedalam bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode – kode agar lebih
muda dan sederhana.
1)
Kejang
demam : 1
Tidak kejang demam : 0
2)
Umur
< 2 tahun : 1
Umur 2 tahun – 5 tahun : 0
3)
Suhu
Tubuh ≥ 39 ° C : 1
Suhu Tubuh < 39
° C : 0
c.
Tabulating ( tabulasi data )
Tabulasi yaitu melakukan tabulasi dari data yang diperoleh dengan menggunakan rumus distribusi frekuensi
d. Entri data
Data yang telah dikelompokkan kemudian dimasukkan kedalam program
statistic computer ( SPSS ).
e. Cleaning
Data yang sudah benar – benar tidak ada kesalahan dilanjutkan dengan
pengujian data dengan menggunakan uji statistik.
2.
Analisa Data
Data di analisis secara :
a.
Analisa Univariat
Analisa univariat yaitu seluruh variabel yang akan digunakan kemudian ditampilkan ke
dalam distribusi frekuensi dari masing – masing variabel dengan menggunakan rumus :
F
P = x 100%
N
Keterangan
:
P : Persentase yang ingin dicari
F : Jumlah frekuensi dari
setiap alternative jawaban
N : Jumlah sample / responden
b.
Analisa Bivariat
Analisa Bivariat adalah analisa yang digunakan untuk
melihat hubungan antara umur dan suhu tubuh dengan kejang demam dengan
menggunakan uji statistic menggunakan rumus Chi-Square ( X2 )
dengan tingkat kepercayaan 95 % atan
α = 0,05.
Aturan yang berlaku pada Chi-Square
adalah sebagai berikut :
1) Bila pada tabel 2 x 2 dijumpai nilai E (
harapan ) kurang dari 5, maka uji yang digunakan adalah fisher exact
2) Bila pada tabel 2 x 2 dan tidak ada nilai E
< 5, maka uji yang pakai adalah Continuity Corection
3) Bila pada tabel lebih dari 2x2 misalnya 3 x 2, 3 x 3 maka
digunakan uji Pearson Chi – Square
Keterangan
:
X : Chi – Square
n : Jumlah sampel
A,B,C,D : Nilai Observasi
3.
Kriteria pengujian
Hasil perhitungan diterjemahkan apabila X2
hitung > X2 tabel atau р < α = 0,05 maka hipotesis diterima berarti hasil uji bermakna sehingga ada Hubungan Umur Dan
Suhu Tubuh Dengan Kejang Demam di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011.
Akan tetapi jika X2 hitung < X2 tabel atau р > α =
0,05 maka hipotesis ditolak sehingga tidak menyatakan adanya hubungan
umur dan suhu tubuh dengan kejang demam.
4.
Teknik Penyajian Data
Setelah dianalisa, data – data disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi dan narasi, kemudian diinterpretasikan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.
Gambaran
RSUD Arga Makmur
RSUD Arga
Makmur merupakan rumah sakit tipe C yang beralamatkan di jalan Siti Khadijah
nomor 8 kecamatan Arga Makmur Bengkulu Utara.
Jumlah ketenagaan RSUD Arga Makmur berjumlah 365 orang yang terdiri dari dokter
spesialis 9 orang, dokter umum 8 orang,dokter gigi 1 orang, Strata 2 6 orang, strata 1 73
orang, Diploma IV 7 orang, Diploma
III 168 orang, Diploma 1 2 orang , SLTA 79 orang ,SLTP 6 orang dan SD 6 orang. Saat ini RSUD Arga
Makmur memiliki 8 unit rawat inap yang terdiri dari ruang bedah, ruang penyakit
dalam, ruang anak, ruang Jamkesmas, ruang isolasi, ruang kebidanan, ruang VIP,
ruang VVIP dan ruang ICU. Selain itu RSUD memiliki instalasi gawat darurat (
IGD ), instalasi laboratorium, instalasi radiologi, ruang operasi dan instalasi
rawat jalan yang terdiri dari poli umum, poli anak, poli penyakit dalam, poli
paru, poli kulit, poli syaraf, dan poli kandungan .
B.
Jalannya Penelitian
Pelaksanaan
penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap
pelaksanaan. Pada saat persiapan meliputi kegiatan konsultasi dengan pembimbing, studi pustaka untuk menentukan acuan penelitian, menyiapkan instrumen
penelitian dan mengurus surat izin penelitian dari institusi pendidikan dan
tempat penelitian.
Tahap
pelaksanaan, peneliti melakukan pengumpulan data penelitian yang dilakukan
tanggal 11
s.d 13 Juni 2012 dengan mengumpulkan data sekunder
yaitu berupa data yang diambil dari status pasien yang berjumlah 70 pasien selama penelitian. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya
dilakukan pengolahan data secara univariat dan bivariat yang kemudian hasilnya
diinterpretasikan.
C.
Hasil Penelitian
Penelitian
ini dilakukan untuk melihat hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejadian kejang
demam pada balita di ruang melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara
tahun 2011.
1.
Analisa
Univariat
Analisa
ini dilakukan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan masing-masing variabel
yang diteliti baik independen (umur dan suhu tubuh) maupun variabel dependen ( kejadian
kejang demam). Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan hasil
sebagai berikut :
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Umur Balita di Ruang Melati
RSUD Arga Makmur Tahun 2011.
No
|
Umur
|
Frekuensi
|
Presentase ( % )
|
1
|
<
2 tahun
|
38
|
54,28 %
|
2
|
2 – 5 Tahun
|
32
|
45,72 %
|
Jumlah
|
70
|
100 %
|
Tabel 5
menunjukkan bahwa dari 70 balita yang dirawat di ruang Melati RSUD Arga Makmur
tahun 2011 umur < 2 tahun berjumlah
38 balita ( 54,28 % ) dan umur 2 – 5 tahun berjumlah 32 balita ( 45,72 % ).
Tabel 6
Distribusi Frekuensi Suhu Tubuh Balita di Ruang Melati RSUD
Arga Makmur tahun 2011.
No
|
Suhu Tubuh
|
Frekuensi
|
Presentase ( % )
|
1
|
≥ 39 ° C
|
33
|
47,14 %
|
2
|
< 39 ° C
|
37
|
52,86 %
|
Jumlah
|
70
|
100 %
|
Tabel 6
menunjukkan bahwa dari 70 balita yang dirawat di ruang Melati RSUD Arga Makmur
tahun 2011 suhu tubuh ≥ 39°C berjumlah
33 balita ( 47,14 % ) dan suhu tubuh < 39°C
berjumlah 37 balita ( 52,86 % ).
Tabel 7
Distribusi
Frekuensi Kejadian Kejang
Demam Balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011.
No
|
Kejadian Kejang Demam
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1
|
Kejang
demam
|
32
|
45,7 %
|
2
|
Tidak kejang demam
|
38
|
54,3 %
|
Jumlah
|
70
|
100%
|
Tabel 7.
menunjukkan bahwa dari 70 balita yang dirawat di ruang Melati RSUD Arga Makmur
tahun 2011 kejang demam berjumlah 32
balita ( 45,7 % ) dan tidak kejang demam berjumlah 38 balita ( 54,3 % ).
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan
untuk mengetahui hubungan variabel independen ( umur dan suhu tubuh ) dan
variabel dependen ( kejadian kejang demam ) yaitu menggunakan analisis Chi-Square dengan derajat kepercayaan
95% (α = 0,05) adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 8.
Hubungan Umur Dengan Kejadian Kejang Demam Pada Balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011.
No
|
Umur
|
Kejang Demam
|
Tidak Kejang Demam
|
Total
|
X2
|
P
|
OR
|
|||
N
|
%
|
N
|
%
|
N
|
%
|
|||||
1
|
< 2
Tahun
|
23
|
32,85
|
15
|
21,43
|
38
|
54,28
|
6,101
|
0,014
|
3,9
|
2
|
2 - 5
Tahun
|
9
|
12,86
|
23
|
32,86
|
32
|
45,72
|
|||
Jumlah
|
32
|
45,71
|
38
|
54,29
|
70
|
100
|
Berdasarkan tabel 8 diketahui
bahwa balita dengan umur < 2 tahun
yang mengalami kejang demam yaitu 23 balita ( 32,85% ) dan yang tidak mengalami kejang demam yaitu 15
balita ( 21,43 ). Balita dengan umur 2-5 tahun yang mengalami kejang demam
yaitu 9 balita ( 12,86 % ) dan yang tidak mengalami kejang demam yaitu 23 balita
( 32,86% ).
Selanjutnya berdasarkan uji Chi-Square didapat X2 hitung :6,101 > X2 tabel
: 3,481 nilai
r
= 0,014 karena nilai r <
0,05 pada taraf signifikansi 5% (a = 0,05) sehingga hipotesis diterima dimana hasil ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan umur dengan kejadian kejang
demam pada balita di ruang Melati
RSUD Arga Makmur tahun 2011. OR 3,9 artinya
balita usia kurang dari 2 tahun mempunyai resiko mengalami kejang demam 3,9
kali lebih besar dibandingkan dengan balita usia lebih dari 2 tahun sampai 5
tahun.
Tabel 9.
Hubungan Suhu tubuh Dengan Kejadian Kejang Demam Pada Balita di Ruang Melati
RSUD Arga Makmur tahun 2011.
No
|
Suhu Tubuh
|
Kejang Demam
|
Tidak Kejang Demam
|
Total
|
X2
|
P
|
OR
|
|||
N
|
%
|
N
|
%
|
N
|
%
|
|||||
1
|
≥ 39°C
|
23
|
32,85
|
10
|
14,29
|
33
|
47,14
|
12,69
|
0,000
|
7,15
|
2
|
< 39°C
|
9
|
12,86
|
28
|
40
|
37
|
52,86
|
|||
Jumlah
|
32
|
45,71
|
38
|
54,29
|
70
|
100
|
Berdasarkan tabel 9 diketahui
bahwa balita yang mengalami kejang pada suhu tubuh ≥39°C yaitu 23 balita (
32,85% ) dan pada suhu tubuh <39°C yaitu 9 balita ( 12,86% ). Balita yang
tidak mengalami kejang demam pada suhu tubuh ≥39°C yaitu 10 balita ( 14,29% )
dan pada suhu tubuh < 39°C yaitu 28 balita ( 40% ).
Selanjutnya berdasarkan uji Chi-Square didapat X2 Hitung : 12,69 > X2
tabel : 3,481 nilai r = 0,000 karena nilai r < 0,05 pada taraf
signifikansi 5% (a
= 0,05) sehingga hipotesis diterima
dimana hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita
di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011. OR 7,15 artinya balita dengan suhu tubuh ≥39°C
mempunyai resiko mengalami kejang demam 7,15 kali lebih besar dibandingkan
dengan balita dengan suhu tubuh < 39°C.
D.
Pembahasan
1. Hubungan umur dengan kejadian kejang demam
pada balita di ruang melati RSUD Arga Makmur kabupaten Bengkulu Utara tahun
2011.
Berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 23 balita ( 32,85% ) yang berumur
< 2 tahun menderita kejang demam dan yang tidak menderita kejang demam 15
balita ( 21,43% ). Sedangkan untuk balita yang berumur 2-5 tahun yang menderita
kejang demam sebanyak 9 balita ( 12,86% ) dan yang tidak menderita kejang demam
sebanyak 23 balita ( 32,85% ). Selanjutnya dari hasil analisis chi- square diperoleh X2 Hitung
: 6,101 > X2 tabel : 3,481 nilai r =
0,014 karena nilai r <
0,05 pada taraf signifikansi 5% (a = 0,05) sehingga hipotesis diterima dimana hasil ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita
di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011.
Pada
penelitian ini diketahui sebagian besar kejadian kejang demam terjadi pada usia < 2 tahun
sebanyak 23 balita ( 32,85% ). Hal ini sesuai dengan pendapat Nadirah ( 2011 )
yang mengatakan bahwa resiko tertinggi untuk terjadi bangkitan kejang demam
adalah pada anak usia dibawah 2 tahun sebanyak 50 %, sedangkan resiko terjadinya
bangkitan kejang demam pada usia 2-5 tahun hanya 28%. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Lennox Bucthal yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi
bangkitan kejang demam pada balita didapat hasil sebagian besar yaitu 83,5%
terjadi pada usia 0 sampai 2 tahun dan 16,5% terjadi pada usia diatas 2 tahun
sampai 5 tahun. Sedangkan penelitian oleh Prasojo Nugroho yang meneliti
faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi kejang demam pada anak di RSUD
Purworejo tahun 2010 didapatkan hasil sebagian besar kejang demam terjadi pada
usia < 17 bulan ( 58,9 % ). Pada keadaan otak belum matang, reseptor asam
glutamat baik ionotropik meliputi NMDA, AMPA dan KA maupun metabopropik sebagai
reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor
kurang aktif, sehingga otak belum matang ekstitasi lebih dominan dibanding
inhibisi. Corticotropin Realising Hormon ( CRH ) merupakan neuropeptid
eksitator , berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH
di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi berpotensi untuk terjadi bangkitan
kejang demam apabila terpicu oleh demam. Mekanisme homeostatis pada otak belum
matang dan masih lemah. Hal ini akan berubah sejalan dengan perkembangan otak
dan pertambahan umur. Masa perkembangan otak yaitu pada waktu anak berumur
kurang dari 2 tahun. Sehingga anak yang berumur dibawah 2 tahun mempunyai
resiko bangkitan kejang demam ( Soetomenggolo, 2007 ). Sedangkan untuk umur
diatas 2-5 tahun bangkitan kejang demam bisa disebabkan oleh karena faktor
riawayat keluarga. Lumbantobing ( 2007 ) mengatakan 20-25% penderita kejang
demam mempunyai keluarga dekat ( orang tua dan saudara kandung ) yang juga
pernah menderita kejang demam.
2. Hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang
demam pada balita di ruang melati RSUD Arga Makmur kabupaten Bengkulu Utara
tahun 2011.
Berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian kejang demam pada
balita terjadi pada suhu ≥ 39°C sebanyak
23 balita ( 32,85% ) . Selanjutnya dari hasil analisis chi- square diperoleh didapat X2 Hitung : 12,699 > X2 tabel : 3,481 nilai r = 0,000
karena nilai r
< 0,05 pada taraf signifikansi 5% (a = 0,05) sehingga hipotesis diterima dimana hasil ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang
Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011. Hal ini sesuai dengan pendapat
Abdoerrachman ( 2007 ) yang mengatakan bahwa kejang demam disebabkan oleh demam
yang semakin tinggi, yakni suhu tubuh mencapai diatas 38°C. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Prasojo Nugroho ( 2010 ) didapat bahwa bangkitan kejang
demam terjadi pada suhu rata-rata mencapai 38,8°C.
Demam merupakan
faktor utama timbul bangkitan kejang demam. Pada penelitian ini kami mengambil
batas tinggi demam 39°C sebagai rata-rata. Perubahan kenaikan temperatur tubuh
berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan ekstabilitas neural, karena
kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta
produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan
metabolisme karbohidrat 10-15% sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan
mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan
mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan
metabolisme di siklus skreb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38
ATP, sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme anaerob, satu molekul
glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan
kekurangan energi, hal ini akan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan
reuptake asam glutamat oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya
ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel.
Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan permeabilitas membran sel
terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkanmasuknya ion Na+ ke
dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya
demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap
membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel
tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga
membran sel dalam keadaan depolarisasi. Selain itu demam dapat merusak neuron
GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu ( Abdoerrachman, 2007).
Sedangkan suhu
dibawah 39°C terjadi bangkitan kejang demam bisa disebabkan oleh lamanya demam
dan cepatnya suhu menaik. Penelitian yang dilakukan oleh wegman mendapatkan
bila anak kucing diberikan kenaikan suhu yang cepat maka serangan kejang sering
terjadi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan umur dan
suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di
ruang Melati RSUD Arga Makmur kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Dari 70 balita, sebagian besar mengalami kejang demam
yaitu sebanyak 32 balita .
2.
Dari 70 balita yang
mengalami kejang demam umur < 2 Tahun yaitu 23 balita
.
3. Dari 70 balita yang mengalami kejang demam pada suhu tubuh ≥39 0C yaitu sebanyak 23 balita.
4. Terdapat
hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang melati RSUD
Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011. Semakin muda usia balita maka
semakin tinggi resiko untuk menderita kejang demam.
5. Terdapat
hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang melati
RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011. Semakin tinggi suhu tubuh
balita maka semakin tinggi resiko untuk menderita kejang demam
B.
Saran
1. Bagi Rumah
Sakit.
Diharapkan perawat dapat memberikan penyuluhan kepada orang tua balita tentang penanganan kejang demam karena pada
balita sangat rentan untuk terjadi kejang demam.
2. Institusi
Pendidikan.
Diharapkan dapat melengkapi referensi tentang
kejang demam pada perpustakaan D-3 Keperawatan Universitas Ratu Samban Arga
Makmur.
3. Bagi
Peneliti selanjutnya
Peneliti lain hendaknya dapat mengembangkan penelitian
ini dengan meneliti variabel lain seperti faktor
riwayat keluarga, lama kejang dan faktor lainnya .
.
selamat malam, salam sejahtera
BalasHapussaya tertarik mempelajari materi yang kk post,
Ka Elvan boleh saya minta bantuan, saya membutuhkan daftar pustaka mengenai artikel yang kk post.
Trimakasih